Ojek Online, Sebuah Analisa Ringan Dengan Game Theory
Saya terkadang merasa heran ketika membeli mie ayam dan juga nasi goreng gerobak di Jakarta harganya selalu sama, Rp. 12.000,-. Apakah saat menentukan harga tersebut mereka melakukan pertemuan dulu dengan Asosiasi Tukang Nasi Goreng Jakarta Raya atau Gabungan Pedagang Mie Ayam Jabodetabek? Jadi semua harganya sama?
Fenomena ini juga sebenarnya saya juga pernah rasakan ketika masih menjadi mahasiswa di tukang tambal ban. Saya kuliah di daerah Gegerkalong dan rumah saya berada di Cicaheum, entah sudah berapa kali ban motor saya bocor dan ditambal di tukang tambal ban yang berbeda-beda disepanjang kedua jalan itu. Harganya tak jauh beda. Mau tahu berapa harganya? Waktu itu sekitar Rp. 6.000, per lubang, kalau gati ban dalam jadi Rp.35.000,-, kecuali kalau kalian sudah kemalaman harganya bisa lebih naik lagi. Lalu, apakah ini semua hanya kebetulan? Bisa jadi. Bisa jadi memang asosiasi para pedagang kaki lima itu memang ada, bisa juga tidak.
Tapi ini mengingatkan saya tentang sebuah film yang sudah cukup lama yang berjudul ‘A Beautiful Mind‘, yang bercerita tentang seorang Matematikawan jenius asal Amerika Serikat yang menderita schizoprenia. Nah, John Nash ini rupanya memiliki sebuah teori yang pasti banyak disukai oleh mahasiswa Manajemen yaitu Game Theory. Nah, ya, Game Theory ini memang seperti permainan biasa saja, atau mungkin lebih bisa disebut tebak-tebakan. Kalian bisa lihat videonya dibawah ini tentang penjelasan Game Theory yang ada di film A Beautiful Mind.
Saya tidak akan membahas secara detail tentang Game Theory ini, tapi secara singkat Game Theory ini bisa kita temukan di pasar yang sifatnya Oligopli, artinya pasarnya besar tapi pemain/penguasa pasarnya sedikit. Game Theory ini sebenarnya lebih menekankan kepada perusahaan/pemain dalam pasar tersebut untuk mendapatkan profit atau market share yang sesuai.
Nah, menilik ke dunia startup ojek online di Jakarta ini, sebenarnya bisa kita kategorikan sebagai pasar Oligopoli karena pemainnya saat ini hanya menyisakan tiga nama besar yaitu Gojek, Grab dan juga yang baru masuk ke ranah ojek, Uber. Nama-nama tersebut tentunya bukan startup yang kecil lagi kan? Dengan tiga nama besar yang masih sangat masif bermain di ranah ojek online ini, mereka sebenarnya hanya menunggu waktu saja sampai salah satunya kehabisan ‘bensin’ untuk dibakar karena sebagai startup pilihan hanya ada dua : growth or profit.
Ketiganya harus membuat konsensus, sebuah kesepakatan tentang apa yang akan mereka ambil. Tentu saja tidak secara langsung, tapi dari segi tarif, layanan dan promo tentunya bisa kita lihat semuanya sekarang menjadi hampir mirip satu sama lain. Tinggal kembali ke preferensi penggunanya lebih nyaman yang mana. Kalau kita mengikuti aturan Game Theory, saat salah satu dari ketiga startup tersebut berusaha melakukan strategi yang berbeda maka dipastikan startup tersebut akan langsung hilang dari peredaran. Sekarang semua kembali kepada para petinggi di startup-startup tersebut apakah mereka mau berusaha saling head-to-head atau bersama-sama menikmati pasar ojek online satu sama lain seperti keadaan yang sekarang.
Karena misalkan ada satu startup yang ingin menguasai pasar dengan menurukan rate mereka, otomatis mereka akan burn out lebih dahulu, tetapi jika mereka memutuskan untuk profit dan menaikan rate mereka sementara dua startup lainnya tidak, maka otomatis mereka juga tersingkir karena pasar pasti akan lebih memilih yang lebih murah. Jadi mereka satu sama lain saat ini akan sangat saling mengandalkan untuk bisa bertahan hidup. Tapi ini hanya analisa hura-hura kok, tidak menjadi patokan apapun dan tidak bisa dibuktikan secara scientific, or is it?
Stay awesome, buzzfriend!